1 Desember 2025
IMG-20251103-WA0168

 

 

 

Halmahera Tengah
Jendelanewstv.com – Saya ingin terlebih dahulu mengucapkan selamat ulang tahun Kabupaten Halmahera Tengah, Ke-35 Tahun 2025

Halmahera Tengah, Tanah yang tak hanya menyimpan keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam, tetapi juga memiliki sejarah perjuangan dan keteguhan warganya dalam menghadapi perubahan zaman.

Maka saya menulis ini sebagai refleksi, bukan untuk menafikan capaian pembangunan, tetapi untuk mengingatkan kita semua bahwa setiap kebijakan ekonomi dan setiap proyek industri selalu membawa konsekuensi sosial dan ekologis. Dengan semangat peringatan ulang tahun ke-35 Tahun Halmahera Tengah, mari kita menengok sejenak ke belakang, untuk memahami sejarah panjang bahwa kolonialisme lama belum benar-benar pergi dari tanah air indonesia, ia hanya berganti rupa, dari rempah ke nikel, dari penaklukan bersenjata ke penaklukan lewat kebijakan.

Kolonialisme di Indonesia secara formal telah berakhir pada tahun 1945, tetapi relasi kekuasaan yang dibangun oleh kolonialisme tidak ikut lenyap bersama, pengusiran Belanda. Ia terus hidup dalam bentuk yang lebih halus melalui kebijakan pembangunan. Di Halmahera, warisan kolonialisme itu menemukan bentuk barunya dalam industri tambang. Bila dahulu rempah menjadi alasan ekspedisi dan penaklukan, kini nikel memainkan peran yang sama, menjadi komoditas global yang menjerat masyarakat lokal dalam jaringan kapitalisme dunia.

Dalam logika kolonial lama, wilayah-wilayah di pinggiran selalu dilihat sebagai ruang sumber daya, bukan ruang kehidupan.

Pandangan ini tetap bertahan sampai sekarang ini, sebagaimana ditunjukkan oleh proyek-proyek pertambangan di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Utara dan Halmahera Selatan. Negara dan korporasi menempatkan tanah, hutan, dan laut sebagai aset produktif yang harus dieksploitasi demi kepentingan nasional.

Di balik jargon hilirisasi dan transisi energi bersih, terdapat struktur kekuasaan yang meniru pola kolonial yakni tanah masyarakat diambil atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), dan masyarakat lokal disulap menjadi buruh tambang dalam rantai produksi global.

Pemikiran Edward Said. 1978, dalam bukunya “Orientalism” menyebut bahwa kolonialisme bekerja bukan hanya melalui kekerasan fisik, tetapi melalui representasi. Dunia Timur, katanya, selalu digambarkan sebagai terbelakang agar Barat merasa Sah mengintervensinya.

Pola representasi serupa ini dijalankan negara terhadap masyarakat Halmahera, mereka diposisikan sebagai masyarakat yang “menunggu pembangunan”. Kehadiran tambang dijustifikasi sebagai jalan menuju kemajuan, meski bagi warga setempat, kemajuan itu berarti kehilangan lahan, rusaknya lingkungan, Sungai, dan hancurnya sistem pertanian.

Menurut Data dari Forest Watch Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan bahwa di Kabupaten Halmahera Tengah terdapat 66 izin usaha pertambangan dengan luas konsesi mencapai 142.964 hektare, atau hampir 60 persen dari luas daratan kabupaten halmahera tengah dan belum juga terhitung izin usaha pertambangan di kabupaten kota yang lain.
Terdapat banyak izin usaha pertambangan itu tumpang tindih dengan wilayah hutan lindung dan tanah adat masyarakat Sawai.
Proses perizinan yang
kompleks sering kali tidak disertai konsultasi yang baik dengan warga masyarakat seperti di kecamatan weda tengah dan kecamatan weda Utara kehilangan ruang hidup yang selama ini menopang kehidupan.

Menurut Tania Murray Li (2007) dalam bukunya menjelaskan bahwa konsep the will toimprove yaitu negara kerap membungkus proyek dominasi dengan retorika kesejahteraan. ia menyebut, bahwa banyak kasus pembangunan.

Masyarakat lokal dianggap “tidak efisien” sehingga harus “diperbaiki” melalui intervensi teknokratis. Hal yang sama terjadi di saat ini di tanah Halmahera. Pembangunan tambang nikel dan kawasan industri IWIP dijadikan simbol modernisasi, Tetapi masyarakat lokal jarang memiliki ruang untuk menentukan arah pembangunan itu. Masyarakat lebih sering menjadi penonton di tanah sendiri, menerima kompensasi yang tidak sebanding dengan kehilangan yang mereka alami.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme baru bekerja. Bila pada masa VOC penjajahan dilakukan dengan kekuatan senjata, kini kekuasaan bekerja melalui kontrak investasi dan kebijakan negara. Bagi Hiariej, negara modern justru sering kali menjadi komprador kapital global.

Alih-alih mensejahterakan, negara justru berfungsi sebagai fasilitator bagi korporasi multinasional.

Menyediakan tanah murah, tenaga kerja yang dapat dieksploitasi, dan jaminan hukum bagi investasi asing. Hal ini terlihat dari bagaimana pemerintah pusat dan daerah menyesuaikan tata ruang dan perizinan demi memperlancar investasi industri nikel di Teluk Weda.

Dalam perspektif pascakolonial, praktik ini merupakan bentuk dominasi yang dilembagakan, di mana hukum dan birokrasi menjadi instrumen penjajahan baru.

Bagi masyarakat Halmahera, perubahan itu bukan hanya ekonomi, tetapi juga kultural dan ekologis. Struktur sosial yang sebelumnya relatif egaliter berubah menjadi hirarkis. Muncul elite-elite lokal yang menjadi perantara antara perusahaan dan warga, memanfaatkan kedekatan dengan birokrasi untuk menguasai sumber kompensasi dan proyek.

Penulis : Bung

Editor   : St. Aisyah 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *