1 Desember 2025
IMG-20251025-WA0085

TERNATE, JendelaNewsTv.com — Konflik kepemilikan lahan di Kelurahan Maliaro, Kecamatan Ternate Tengah, kembali mencuat ke permukaan. Perseteruan panjang antara ahli waris Awaludin Arsyad dengan sejumlah pihak yang diduga sebagai mafia tanah dan oknum pejabat pertanahan, kini memasuki babak baru. Ketegangan meningkat setelah keluarnya surat edaran dari Kepala Kantor Pertanahan pada 21 Desember 2023, yang menyebutkan bahwa status tanah di wilayah RT 07, Maliaro, kembali menjadi tanah negara.

Namun, ahli waris Awaludin Arsyad menolak keras keputusan tersebut. Ia menilai surat itu tidak mempertimbangkan fakta sejarah dan dokumen kepemilikan yang dimiliki keluarganya sejak tahun 1963.

Ahli Waris Klaim Punya Bukti Sah Sejak 1963

Dalam keterangannya kepada Jurnalis JendelaNewsTv.com, Jumat (24/10/2025), Awaludin menyatakan bahwa keluarganya merupakan penguasa awal tanah tersebut. Ia menegaskan, tanah itu dimiliki turun-temurun dan tidak pernah berpindah tangan secara sah.

> “Status kembali ke tanah negara berarti pemerintah akan melihat siapa yang lebih dulu menguasai. Kita sudah punya bukti sejak 1963, sebelum ada sertifikat dan AJB tahun 1966. Jadi, kita ini jelas punya dasar hukum sendiri,” ujar Awaludin.

Ia menuding adanya komplotan mafia tanah dan oknum pejabat pertanahan yang bersekongkol dengan seorang notaris untuk melakukan transaksi jual beli ilegal di atas tanah tersebut. Menurutnya, surat yang dijadikan dasar untuk Peninjauan Kembali (PK) merupakan surat palsu dan tidak berkaitan dengan tanah milik keluarganya.

Dugaan Persekongkolan dan Pemalsuan Dokumen

Awaludin juga menyoroti keterlibatan seorang notaris yang diduga menjadi aktor utama dalam praktik jual beli tanah tanpa dasar hukum yang sah.
Menurutnya, notaris tersebut telah memaksakan pembuatan akta jual beli (AJB) antara pihak luar dengan warga sekitar, padahal objek yang diperjualbelikan tidak memiliki batas jelas dan tidak memiliki dasar legalitas.

> “Saya menduga ada praktik mafia tanah secara berjamaah. Mereka jual tanah tanpa batas yang jelas. Saya keberatan dan tidak akan diam,” tegas Awaludin.

Ia bahkan menuding bahwa oknum Lurah Maliaro, Namra Hasan, ikut menerima sejumlah uang dari pihak pembeli tanah, yang disebut bernama Asis. Transaksi ini diduga dilakukan tanpa memverifikasi status lahan yang sebenarnya masih disengketakan.

Awaludin: Kami Tidak Melawan, Hanya Mempertahankan Hak

Menanggapi tuduhan bahwa dirinya menghalangi petugas saat pengukuran tanah, Awaludin membantah keras. Ia menegaskan bahwa kehadirannya di lokasi semata untuk mempertahankan hak keluarga, bukan untuk melawan aparat.

> “Saya hanya jaga hak orang tua saya. Tidak pernah lawan petugas. Tapi kalau tanah diklaim begitu saja, kita harus bicara,” katanya.

Ia menambahkan, berdasarkan hukum agraria, masyarakat yang telah menguasai tanah selama lebih dari 20 tahun tanpa sengketa berhak mengajukan sertifikat hak milik secara sah. Dengan perhitungan itu, keluarga Arsyad telah menempati tanah tersebut selama lebih dari enam dekade (62 tahun).

Putusan PK: Error Subjek dan Objek

Menurut Awaludin, dasar eksekusi lahan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Ternate merujuk pada Putusan Peninjauan Kembali (PK) antara Hindun Hamidah melawan Taher Wahid. Ia menegaskan bahwa keluarganya tidak termasuk dalam perkara tersebut.

> “PK itu hanya antara Hindun dan Taher, bukan kami. Tapi kenapa kami ikut jadi korban? Ini sudah error objek dan error subjek,” ujarnya.

Ia menuding adanya intervensi dari notaris yang berambisi menyelamatkan pihak pembeli tanah karena sudah terlanjur menerima uang transaksi.

> “Asis beli tanah ke notaris, tapi saat masalah muncul, notaris yang panik karena tidak bisa serahkan lahan. Makanya dia paksa ukur. Ini sudah praktik mafia tanah yang terselubung,” katanya.

Kekecewaan Terhadap BPN

Awaludin juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ternate.
Menurutnya, ia sudah melakukan kesepakatan dengan pihak BPN di kantor lurah untuk diberikan waktu 10 hari guna melengkapi berkas. Namun, tanpa menunggu tenggat waktu, pihak BPN disebut tetap memaksa melakukan pengukuran lahan.

> “Kita sudah sepakat tunggu 10 hari. Tapi dorang datang paksa ukur. Saya anggap itu sudah intimidasi,” ujarnya dengan nada kecewa.

Ia juga menduga adanya penyalahgunaan wewenang karena pengukuran dilakukan oleh pejabat BPN tanpa surat perintah langsung dari Kepala Kantor Pertanahan.

> “Kalau tanah itu sudah dinyatakan sebagai tanah negara, lalu dijual ke pihak ketiga, itu jelas pelanggaran hukum dan bisa masuk kategori korupsi,” tegas Awaludin.

Penjelasan dari Pihak BPN

Sementara itu, Roy Kristian, Penata Pertanahan Ahli Pertama dari Kantor Pertanahan Kota Ternate, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa BPN tidak bertindak di luar hukum dan hanya menjalankan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

> “Perkara ini sudah bergulir sejak 1994 dan sudah sampai tingkat PK. Dalam proses itu, pertanahan juga sempat menjadi tergugat dan kalah. Karena sudah inkrah, mau tidak mau kita tunduk pada putusan pengadilan,” ujar Roy kepada JendelaNewsTv.com (24/10/2025).

Roy menjelaskan bahwa eksekusi pengosongan dilakukan oleh Pengadilan Negeri Ternate pada 10 Juli 2023, dengan melibatkan TNI, Polri, Satpol PP, dan pihak kelurahan.
Menurutnya, sertifikat Nomor 350 atas nama Taher Wahid memang telah dibatalkan karena terbukti tanah tersebut milik Hindun dan Hamidah Wahid.

> “Jadi bukan tanah negara murni. Berdasarkan amar putusan Mahkamah Agung, tanah itu sah milik Hindun Wahid dan Hamidah Wahid,” jelasnya.

Namun, ia mengakui bahwa hingga kini batas-batas lahan belum dapat ditentukan karena belum dilakukan pendaftaran ulang pasca pembatalan sertifikat. Roy pun mempersilakan pihak yang tidak puas untuk menempuh jalur hukum kembali.

Sikap Lurah Maliaro dan Amar Putusan MA

Lurah Maliaro, Namra Hasan, enggan memberikan keterangan lebih lanjut. Ia menilai permasalahan ini telah berulang kali disampaikan kepada para pihak dan kini sepenuhnya menjadi ranah hukum.

Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 730 PK/Pdt/2001, tanah sengketa di Maliaro dinyatakan sah milik Hindun Wahid dan Hamidah Wahid. Putusan itu juga menegaskan bahwa tindakan almarhum Taher Wahid dan pihak-pihak lain yang turut tergugat hingga 42 orang, termasuk perbuatan melawan hukum.

Pelaksanaan Eksekusi dan Dampak Sosial

Berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi Pengosongan Nomor 1/Pdt.Eks/2023/PN Tte, eksekusi telah dilakukan pada 10 Juli 2023. Proses tersebut melibatkan aparat dari kepolisian, TNI, Satpol PP, BPN, dan pihak kelurahan. Namun, pelaksanaan eksekusi tersebut justru memunculkan ketegangan baru di lapangan karena adanya warga yang mengklaim tidak termasuk dalam perkara PK tersebut.

Sejumlah warga mengaku khawatir akan kehilangan tempat tinggal yang telah mereka tempati puluhan tahun, sementara ahli waris Awaludin Arsyad tetap bersikeras mempertahankan hak mereka berdasarkan bukti lama yang dimiliki.

Penutup

Kasus lahan di Maliaro kini menjadi potret nyata kompleksitas sengketa agraria di perkotaan—di mana tumpang tindih surat, kelalaian pejabat, dan dugaan praktik mafia tanah berkelindan menjadi satu.
Ahli waris Awaludin Arsyad berencana melanjutkan perjuangan hukum hingga ke tingkat pusat, sementara pihak BPN menegaskan akan tetap tunduk pada hukum yang berlaku.

Konflik ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda, dan masyarakat menanti langkah tegas dari pemerintah untuk memastikan keadilan agraria benar-benar ditegakkan di bumi Moloku Kie Raha.

Reporter: ND
Editor: Nasrun
Redaksi: JendelaNewsTv.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *