TERNATE, JendelaNewsTv.com – Konflik lahan di Kelurahan Maliaro, Kota Ternate Tengah, kembali memanas setelah beberapa bulan berlalu. Ahli waris Awaludin Arsyad mengungkapkan kekecewaannya atas terbitnya surat edaran dari Kepala Pertanahan pada 21 Desember 2023 yang menyatakan status tanah di Maliaro, khususnya RT 07, kembali menjadi tanah negara.
“Status kembali ke status awal tanah negara berarti pemerintah nanti melihat yang menguasai awal itu siapa,” ujar Awaludin Arsyad dalam keterangannya, kepada Jurnalis JendelaNewsTv.com Pada Jumat (24/10/2025). Ia menjelaskan bahwa keluarga mereka memiliki surat kepemilikan tanah sejak 1963. Ia menuding ada komplotan mafia dan oknum yang menggunakan surat yang dijadikan dasar PK (Peninjauan Kembali) untuk menggusur mereka.
Awaludin juga menyoroti keterlibatan notaris yang diduga memalsukan surat dan memaksakan kehendak. Ia juga mengklaim bahwa Hindun Hamidah, yang berseteru dengan saudaranya Taher Wahid, menjadikan keluarganya sebagai korban dalam konflik internal tersebut.
“Sementara saya sebagai ahli waris dari almarhum kakek bapak sampai saya, kita punya surat tahun 1963 tidak pernah ada kaitan hukum dengan sertifikat yang sudah dibatalkan oleh dan AJB tahun 1966, kita tidak punya ada hubungan hukum apa-apa, artinya kita punya surat sendiri yang terpisah,” tegasnya.
Awaludin juga menyoroti sikap mantan Ketua Pengadilan Negeri Ternate, Romel, yang dinilai tidak memperhatikan bukti kepemilikan tanah mereka dan menyamaratakan status mereka dengan warga lain yang tidak memiliki surat. Ia juga mempertanyakan dasar hukum tanah negara yang seharusnya memfasilitasi masyarakat yang mendiami lahan di atas 20 tahun untuk mendapatkan sertifikat gratis.
“Kita ini bapak bisa hitung 1963 sampai sekarang kurang lebih 62 tahun tanpa pindah-pindah itu begitu, tapi mereka-mereka komplotan mafia tanah ini oleh oknum-oknum notaris saya menduga mereka ini sudah melakukan transaksi jual beli,” ungkapnya.
Awaludin juga menyoroti transaksi jual beli yang dilakukan oleh Asis, yang membeli tanah tersebut dari mebel hingga tempat. Ia mempertanyakan keabsahan transaksi tersebut karena objek yang diperjualbelikan tidak jelas dan tidak memiliki batasan yang jelas.
“Jadi intinya apa yang dorang lakukan ini adalah praktik mafia tanah secara berjamaah, saya berkeberatan dan saya tidak setuju,” tegasnya. Ia mengaku telah membuat laporan polisi terhadap oknum lurah Namra Hasan, yang diduga menerima uang dari pihak terkait.
Awaludin juga mengingatkan Asis untuk berhati-hati dalam membeli barang yang tidak jelas statusnya. Ia menegaskan bahwa jual beli harus dilakukan dengan objek yang halal, ada orangnya, dan suratnya jelas.
“Jadi saya ulang kembali, status tanah kembali ke status awal tanah negara, kalau status awal kembali ke tanah negara maka penguasaannya dilihat siapa lebih awal maka kitorang itu jelas lebih awal tahun 1963 sementara dorang tidak ada dorang punya bukti surat tidak ada, kita bisa baku uji karena bicara perdata jangan bicara pande itu datang paksa mengukur,” tegasnya.
Awaludin juga membantah tuduhan bahwa dirinya melakukan perlawanan dan menghalangi pengukuran tanah. Ia menegaskan bahwa dirinya hanya mempertahankan hak dari orang tuanya.
Putusan PK dan Praktik Mafia Tanah
Awaludin menjelaskan bahwa putusan PK yang menjadi dasar eksekusi hanya menceritakan substansi perkara antara Hindun Hamidah dan Taher Wahid, dan tidak melibatkan keluarganya. Ia menuding ada praktik mafia tanah karena adanya error objek dan error subjek.
“Nah kenapa ini oknum notaris ngotot makan doi? Jadi saya punya pikiran kampung ya, Asis beli ini mas Asis beli notaris bikin jual beli dengan ibu lura ayo beli waktu bjalan ih, ternyata terbentur persoalan ya otomatis Asis kan tak mau rugi, orang bisnis weh kita sudah su bayar baru kita tak bisa menguasai, mau tak mau notaris yang tabrak paksa,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa dirinya hanya melawan notaris yang melakukan transaksi jual beli dan memaksakan pembuatan akta. Ia juga mempertanyakan bagaimana mungkin surat kepemilikan tanah mereka yang terbit tahun 1963 bisa dikalahkan oleh surat yang terbit tahun 1966.
Kekecewaan pada Notaris dan BPN
Awaludin juga mengungkapkan kekecewaannya pada notaris dan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Ia mengaku telah membuat kesepakatan dengan BPN di kantor lurah untuk memberikan waktu 10 hari untuk melengkapi berkas, namun BPN tetap memaksa untuk melakukan pengukuran.
“Saya kecewa dengan notaris dan BPN kasi BPN juga kitorang so bikin kesepakatan di kantor lurah 10 hari dorang kasih jangka waktu kalau saya kurang komplit maka dorang paksa untuk mengukur ini kan setengah mo baancam, cuman saya bikin laporan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti tindakan ketua BPN yang turun datang paksa mengukur tanpa ada perintah langsung dari kepala BPN. Ia menduga ada oknum yang mengatasnamakan kepala BPN atau kepala bidang sengketa dan pengendalian tanah.
“Karena apa sebelumnya pertanahan edaran status tanah tanah negara, nah sekarang kalau tanah negara kalau di jual kira-kira bagaimana menurut abang? Aset negara ngoni baku jual maka ngono ada dugaan praktik korupsi terselubung di situ dan itu kan barusan dengan KPK, nah itu begitu,” tegasnya.
Penjelasan Pihak BPN
Roy Kristian, penata pertanahan ahli pertama dari Kantor Pertanahan Kota Ternate, memberikan penjelasan terkait permasalahan ini. Ia menjelaskan bahwa pertanahan juga pernah menjadi tergugat dalam perkara ini pada tahun 1994 dan kalah hingga tingkat PK.
“Karena putusan itu setelah upaya sampai terakhir PK, peninjauan kembali di tingkat Mahkamah Agung kita juga kalah lagi, jadi setelah putus namanya putusan kalau udah sampai PK dan udah mempunyai kekuatan itu pertanahan kalah pun harus tunduk, mau enggak mau tunduk terhadap putusan,” jelasnya Kepada Jurnalis JendelaNewsTv.com Pada Jumat, (24/10/2025).
Ia juga menjelaskan bahwa putusan tersebut pernah dieksekusi pada 10 Juli 2023 oleh Pengadilan Negeri Ternate. Ia menegaskan bahwa pihaknya bertindak berdasarkan institusi dan sumber hukum yang jelas, yaitu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Roy juga menjelaskan bahwa sertifikat 350 atas nama Taher Wahid dibatalkan karena terbukti tanah tersebut milik Hindun dan Hamidah Wahid. Ia juga membantah klaim bahwa tanah tersebut kembali menjadi tanah negara murni.
“Kan itu kan pertanyaannya, tapi tanah itu bukan tanah negara murni, kita baca Ammar putusan selanjutnya. Ammar putusan selanjutnya, tanah itu terbukti adalah sah milik Hindun Wahid sama Hamidah Wahid,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya tidak bisa mengungkapkan batas-batas tanah karena statusnya belum tanah terdaftar setelah pembatalan sertifikat. Ia mempersilakan Awaludin Sawal atau ahli waris lainnya untuk melakukan upaya hukum jika tidak puas dengan putusan tersebut.
Kesaksian Ibu Lurah
Ibu Lurah Maliaro enggan memberikan keterangan lebih lanjut terkait permasalahan ini karena sudah berulang kali menyampaikan masalah ini ke ahli waris.
Amar Putusan MA
Amar Putusan Mahkamah Agung No. 730 PK/Pdt/2001 menyatakan bahwa tanah sengketa adalah hak milik Nindun Wahid dan Hamidah Wahid. Putusan tersebut juga menyatakan perbuatan suami Tergugat I, yaitu almarhum Taher Wahid, maupun Tergugat I dan Tergugat II serta para Turut Tergugat I sampai dengan Turut Tergugat XLII, adalah perbuatan melawan hukum.
Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi
Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi Pengosongan Nomor 1/Pdt. Eks/2023/PN Tte., Jo Nomor 1/Pen.Pdt/Constatering/2023/PN Tte., Jo.Nomor 1/Pdt. Aan/2023/PN Tte., Jo.Nomor 1/Pdt.G/1994/PN Tte. Jo.Nomor 90/PDT.G/1994/ PT MAL, Jo.Nomor 113 K/PDT/1995, Jo.Nomor 730 PK/PDT/2001, mencatat pelaksanaan eksekusi pengosongan pada 10 Juli 2023 yang melibatkan berbagai pihak, termasuk kepolisian, TNI, Satpol PP, BPN, dan Lurah Maliaro.
Redaksi: Nasrun
