1 Desember 2025
IMG-20251013-WA0027

Babari, istilah lokal yang berarti gotong royong tanpa pamrih, bukan sekadar tradisi di Maluku Utara. Ia telah menjadi jantung sosial dan ekonomi masyarakat, terutama di sektor pertanian kelapa. Namun, dalam satu dekade terakhir, semangat kolektif ini mulai goyah di tengah derasnya arus industrialisasi tambang nikel di wilayah Oba dan sekitarnya.

 

“Babari itu dulu bukan hanya kerja bersama, tapi juga kebanggaan. Kami saling bantu tanpa hitung uang, hasilnya kebun subur dan hubungan antarpetani erat,” tutur Ahmad, petani kelapa asal Oba Tengah.

Kini, cerita itu perlahan berubah. Sejak tambang masuk, banyak warga lebih memilih bekerja di sektor industri ketimbang mengurus kebun. Interaksi sosial menurun, gotong royong memudar, dan hasil kebun tak lagi seproduktif dulu.

 

Penelitian yang dilakukan pada Juli 2024 mencatat, aktivitas Babari turun hingga 60 persen di beberapa desa penghasil kelapa. Akibatnya, biaya produksi naik, dan solidaritas sosial antarpetani melemah.

 

Meski demikian, muncul harapan baru ketika harga kopra di tahun 2025 melonjak tajam hingga Rp 20.000 per kilogram. Kenaikan ini mendorong petani kembali menengok kebun dan membangkitkan semangat Babari.

 

Para peneliti menilai, momentum ini bisa menjadi titik balik bagi Maluku Utara untuk membangun kembali kekuatan ekonomi rakyat berbasis gotong royong. “Babari bukan nostalgia. Ia adalah solusi lokal menghadapi ketimpangan modern,” ujar peneliti dari Universitas Khairun Ternate.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *