Oleh : Nurdiana
JendelaNewsTv.com – Ada saatnya manusia terdiam di antara luka dan derita. Luka yang membekas di tubuh maupun hati, dan derita yang membebani pikiran serta jiwa. Keduanya sering datang beriringan, seolah tak memberi kesempatan untuk bernapas lega. Pertanyaan pun muncul: siapa yang sebenarnya harus menanggung beban ini? Apakah individu semata, ataukah masyarakat bersama yang turut menjadi saksi atas penderitaan tersebut?
Luka bukan hanya persoalan fisik. Luka batin sering kali jauh lebih dalam, tak terlihat namun terasa menyesakkan. Ia lahir dari pengkhianatan, ketidakadilan, ketertinggalan, hingga kehilangan yang tak terduga. Derita pun bukan sekadar tangisan, ia adalah rangkaian panjang kegelisahan yang terus menghantui hari-hari. Manusia sering dipaksa untuk tersenyum di hadapan orang lain, padahal di dalam dirinya ia sedang memikul beban yang tak tertahankan.
Namun, apakah wajar bila luka dan derita hanya diletakkan di pundak mereka yang mengalaminya? Bukankah setiap penderitaan lahir dari sebuah sistem sosial yang kadang abai? Ketika seorang anak menangis kelaparan, apakah hanya ibunya yang harus menanggung derita? Atau ketika seorang pekerja diperlakukan tidak adil, apakah hanya dirinya yang wajib memikul luka batin itu sendirian? Tidak. Sesungguhnya, luka dan derita adalah cermin dari kegagalan kita sebagai sebuah komunitas manusia.
Beban ini harusnya menjadi tanggung jawab bersama. Sebab, tidak ada satu pun manusia yang hidup di dunia ini benar-benar sendiri. Kita lahir dari rahim seorang ibu, dibesarkan dalam lingkungan sosial, dan tumbuh bersama orang-orang di sekitar kita. Maka saat luka dan derita hadir, seharusnya ada tangan-tangan yang merangkul, bukan membiarkan penderitaan itu membusuk dalam sunyi. Empati menjadi pintu pertama agar beban tidak terasa begitu berat.
Sayangnya, dunia hari ini semakin sering memperlihatkan wajah acuh. Orang-orang lebih suka menghakimi daripada memahami. Luka dipandang sebagai kelemahan, derita dilihat sebagai aib. Tak jarang, korban justru dipersalahkan atas nasibnya sendiri. Inilah yang membuat luka semakin menganga dan derita semakin menumpuk. Padahal, yang dibutuhkan hanyalah kepedulian kecil: mendengar tanpa menghakimi, hadir tanpa banyak bertanya, dan menguatkan tanpa pamrih.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, luka dan derita rakyat kerap menjadi tontonan politik. Angka-angka kemiskinan disebutkan, tetapi wajah-wajah di balik angka itu jarang benar-benar diperhatikan. Janji demi janji disampaikan, tetapi kenyataan di lapangan tetap sama: rakyat kecil harus menanggung beban sendirian. Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap makna sejati dari keadilan sosial?
Di titik ini, kita perlu bertanya kembali: siapa sebenarnya yang layak menanggung beban antara luka dan derita? Jawabannya sederhana namun dalam: kita semua. Karena luka seseorang adalah luka kita bersama, dan derita yang dirasakan satu jiwa adalah peringatan bagi kemanusiaan kita. Jika kita membiarkan satu orang runtuh dalam penderitaan, maka sejatinya kita sedang meruntuhkan nilai kemanusiaan kita sendiri.
Menanggung beban bersama tidak berarti harus membagi derita secara persis sama. Tidak. Tetapi setidaknya ada solidaritas yang hidup. Ada kehadiran yang nyata. Ada keikhlasan untuk menjadi bahu tempat bersandar. Sebab kadang yang paling dibutuhkan oleh orang yang terluka bukanlah solusi cepat, melainkan rasa bahwa ia tidak sendirian dalam menanggung beban itu.
Kita boleh saja berbeda keyakinan, pandangan politik, bahkan cara hidup. Tetapi satu hal yang seharusnya tak berubah: kemanusiaan. Tanpa itu, kita hanyalah sekumpulan individu yang berjalan tanpa arah, sibuk memikirkan diri sendiri sambil membiarkan luka dan derita orang lain membusuk. Dunia ini akan terasa semakin gelap bila kita kehilangan rasa peduli.
Akhirnya, luka dan derita adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Namun, jangan pernah biarkan seseorang menanggungnya sendirian. Jika ada yang terluka, rangkul. Jika ada yang menderita, hibur. Jika ada yang terjatuh, bangunkan. Sebab suatu saat, kita pun bisa berada di posisi yang sama, dan pada saat itu, hanya kepedulian manusia lainlah yang mampu membuat beban terasa lebih ringan.
Maka, antara luka dan derita, siapa yang harus menanggung beban ini? Jawabannya ada di hati kita: kita semua, bersama-sama.
