1 Desember 2025
IMG_20250904_210115

Oleh : Taslim Barakati

JendelaNewsTV.com – Maulid Nabi bukan sekadar perayaan lahirnya manusia agung yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, melainkan momentum untuk kembali menyelami kedalaman cinta, pengorbanan, dan keteladanan Rasulullah SAW beserta keluarga sucinya. Ketika kita berbicara tentang Nabi Muhammad, maka tak bisa dilepaskan dari jejak keluarga beliau yang meneguhkan perjuangan Islam. Di antara mereka adalah cucu yang sangat beliau cintai, al-Husain bin Ali.

 

Sejarah mencatat, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Husain dariku, dan aku dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.” Sabda ini bukan sekadar ungkapan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya, melainkan pernyataan monumental yang menegaskan bahwa memahami dan mencintai Husain adalah bagian dari memahami dan mencintai Rasulullah. Husain adalah refleksi dari misi kerasulan: menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman.

 

Husain bin Ali tumbuh dalam pelukan Nabi, mendengar langsung ajaran-ajaran suci, dan menyaksikan kelembutan akhlak sang kakek. Di Madinah, ia menjadi saksi hidup bagaimana Islam ditegakkan bukan dengan pedang yang haus darah, melainkan dengan cinta, keadilan, dan pengorbanan. Dari Husain, kita menemukan jejak paling otentik dari apa yang Nabi wariskan kepada umatnya: keberanian untuk berdiri di pihak yang benar meski harus berhadapan dengan badai kezaliman.

 

Peristiwa Karbala menjadi bukti sejarah yang tak mungkin terhapus. Di padang tandus itu, Husain bersama keluarga dan pengikutnya yang setia menghadapi pasukan yang jauh lebih besar. Namun ia tidak gentar. Baginya, lebih baik mati bermartabat daripada hidup dalam kehinaan. Ketika Husain menolak tunduk kepada tirani Yazid, ia sebenarnya sedang menegaskan kembali ajaran kakeknya: bahwa Islam adalah jalan kemerdekaan, bukan perbudakan; jalan keadilan, bukan penindasan.

 

Mengenang Maulid Nabi sekaligus mengingat Husain adalah mengikatkan hati pada dua pusaka besar Rasulullah: Al-Qur’an dan Ahlul Bait. Rasulullah sendiri telah mewasiatkan dalam hadis Tsaqalain, “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang jika kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan keluargaku, Ahlul Baitku.” Maka, memuliakan Husain adalah menjalankan wasiat Nabi.

 

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kisah Husain memberi kita pelajaran mendalam: bahwa mencintai Nabi bukan sekadar ucapan, melainkan keberanian untuk meneladani prinsip hidup beliau dan keluarganya. Husain mengajarkan kepada kita makna sejati jihad, yaitu menegakkan kebenaran meski harus menanggung penderitaan. Ia mengajarkan bahwa cinta kepada Rasulullah harus diwujudkan dalam keberpihakan pada yang lemah, dalam melawan ketidakadilan, dan dalam menolak setiap bentuk penindasan.

 

Betapa indahnya bila Maulid Nabi kita isi dengan zikir yang tidak hanya memuji, tetapi juga menghadirkan semangat perjuangan Nabi dan keluarganya dalam kehidupan kita. Kita tidak hanya sekadar mengenang kelahiran Rasulullah, tetapi juga menyalakan kembali api cinta dan pengorbanan yang diwariskan cucu tercintanya, Husain. Dengan begitu, kita merayakan Maulid bukan hanya dengan syair dan doa, tetapi juga dengan komitmen nyata menegakkan keadilan.

 

Sejarah Islam menunjukkan, setiap kali umat menjauh dari keteladanan Nabi dan keluarganya, maka umat itu terjerumus dalam kegelapan. Sebaliknya, setiap kali umat kembali kepada mereka, cahaya peradaban kembali bersinar. Maka, Maulid Nabi harus menjadi momentum kebangkitan. Dengan mengenang Husain, kita sesungguhnya sedang kembali kepada Rasulullah.

 

Husain adalah cermin Rasulullah: kelembutannya adalah kelembutan Nabi, keberaniannya adalah keberanian Nabi, dan pengorbanannya adalah pengorbanan demi agama yang Nabi bawa. Maka benar adanya sabda Rasulullah: “Mengenal Husain maka kau mengenal Rasulullah.” Di dalam diri Husain, kita menemukan gema suara Nabi yang tidak pernah padam, bahkan hingga hari ini.

 

Dan pada akhirnya, mencintai Nabi tidak cukup dengan lisan, tetapi harus tercermin dalam sikap hidup. Jika Rasulullah adalah rahmat bagi alam semesta, maka kita pun harus menjadi rahmat bagi sesama. Jika Husain rela berkorban demi kebenaran, maka kita pun harus siap menegakkan keadilan. Dengan begitu, perayaan Maulid Nabi bukan sekadar ritual, melainkan momentum untuk memperbarui cinta kita kepada Nabi Muhammad dan keluarganya yang suci.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *