1 Desember 2025
IMG_20250629_225319

Nur Idris, warga Desa Toin

Halmahera Selatan,JendelanewsTV.com – Ratusan warga yang sudah lama menahan kecewa akhirnya meluapkan kemarahan mereka dengan aksi demonstrasi dan pemalangan Kantor Desa. Satu tuntutan mereka mengemuka dengan tegas: mereka tidak ingin diwakili oleh siapa pun—mereka hanya ingin Bupati Halmahera Selatan datang langsung ke desa dan membuka palang itu sendiri, Minggu 29 Juni 2025.

“Kami ini bukan boneka. Kami ini rakyat! Kami yang mengantar Bupati ke jabatannya, tapi kenapa sekarang kami malah ditinggal? Kalau memang beliau pemimpin sejati, datang dan buka sendiri palang ini!” — teriakan lantang dari Nur Idris, warga Desa Toin, Kecamatan Botang Lomang, Halmahera Selatan, menyayat kesadaran siapa pun yang masih peduli pada makna sejati demokrasi dan kepemimpinan.

Apa yang terjadi di Desa Toin bukan sekadar pemalangan kantor desa. Ini bukan hanya tentang spanduk, kayu balok, atau orasi keras. Ini adalah simbol dari akumulasi luka, pengabaian, dan keputusasaan yang selama ini terkubur dalam diam. Ketika suara rakyat terus-menerus dianggap angin lalu, maka wajar jika mereka akhirnya berteriak dengan cara yang paling keras: memaksa pemimpinnya hadir, bukan sekadar mewakilkan.

Di era ketika pemimpin begitu mudah hadir di media sosial, tersenyum dari balik baliho, dan berbicara manis saat kampanye, masyarakat desa tetap berjuang untuk mendapat akses air bersih, pendidikan layak, infrastruktur yang pantas, dan keadilan pemerintahan yang merata. Ironis bukan?

Pernyataan Nur Idris, seorang warga biasa, mengandung muatan kritik sosial yang sangat tajam. Ia mewakili suara banyak rakyat kecil yang mulai muak dengan praktik kepemimpinan yang transaksional dan elitis. Mereka tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin didengar. Ingin dihormati. Ingin ditemui langsung oleh pemimpin yang katanya dipilih secara demokratis.

Pertanyaan kritis yang muncul: Mengapa seorang Bupati begitu sulit turun langsung ke desa saat krisis terjadi? Bukankah kekuasaan yang diberikan rakyat semestinya digunakan untuk mendengar jeritan mereka secara langsung? Apakah jabatan sudah sedemikian tinggi hingga membuat jarak dengan rakyat yang pernah mendoakan dan memilihnya?

Pemimpin yang sejati adalah mereka yang hadir tidak hanya saat pesta demokrasi berlangsung, tetapi juga ketika rakyatnya menjerit karena ketidakadilan. Rakyat seperti Nur Idris tidak menuntut lebih—mereka hanya ingin kehadiran, bukan formalitas. Mereka ingin empati, bukan pidato yang ditulis oleh staf.

Aksi masyarakat Desa Toin harus menjadi tamparan keras bagi seluruh kepala daerah yang sibuk dengan agenda elite, tetapi lupa bahwa legitimasinya bersumber dari rakyat paling pinggir. Jangan salahkan mereka jika suatu hari suara mereka berubah menjadi perlawanan yang lebih luas. Sebab seperti kata Nur Idris, mereka bukan boneka. Mereka rakyat. Dan rakyat bukan untuk dibohongi. (Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *