Halmahera Tengah, JendelaNewsTV.com — Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, menyuarakan harapan besar agar pemerintah pusat segera memberikan porsi pembagian keuntungan yang lebih adil kepada daerah penghasil, khususnya dari sektor industri pertambangan nikel yang menjadi andalan ekonomi Maluku Utara. Harapan ini ia sampaikan dalam dialog publik bertajuk Zona Inspirasi di KompasTV, Minggu (15/6/2025).
Dalam pernyataannya, Sherly menyoroti ketimpangan dalam skema Dana Bagi Hasil (DBH) yang selama ini berlaku. Meski nilai ekspor ore nikel dari Maluku Utara pada tahun 2024 diperkirakan mencapai angka fantastis, yakni Rp 54 triliun, namun kontribusi tersebut belum sepenuhnya berdampak signifikan terhadap penerimaan fiskal daerah.
“Kemarin saya sudah berkunjung ke Kementerian ESDM. Sebenarnya dana bagi hasil (DBH) itu, kita di Maluku Utara itu dari produk nikel, dari ore. Jadi di tahun 2024 itu, secara kasar ore yang keluar dari Maluku Utara itu nilainya Rp 54 triliun,” ungkap Sherly.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan regulasi yang ada, daerah mendapatkan 80 persen dari royalti yang dibayarkan oleh perusahaan tambang kepada negara. Dana tersebut kemudian dibagi ke dalam 10 kabupaten/kota dan juga provinsi. Namun, yang menjadi catatan penting, hingga saat ini Maluku Utara belum menerima pembagian dari pajak hasil produk smelter.
“Hitungannya sudah benar, cuma yang kita belum dapat itu mungkin bagian dari pajak produk smelter. Itu kita belum dapat,” bebernya.
Gubernur Sherly menilai hal tersebut sebagai celah besar dalam sistem perpajakan industri hilirisasi, mengingat produk smelter justru memiliki nilai tambah tinggi dibandingkan ore mentah. Ia pun mendesak agar ke depan dibuat aturan atau undang-undang yang secara spesifik mengatur pembagian pajak dari produk smelter kepada daerah penghasil.
“Semoga ke depan ada regulasi atau undang-undang yang mengatur pembagian dari produk smelter ini. Karena pekerjaan rumah kita banyak, terutama dalam pembangunan infrastruktur,” tegas Sherly.
Lebih lanjut, Gubernur Sherly mengungkapkan bahwa meskipun Maluku Utara mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi secara nasional pada kuartal I tahun 2025, yakni sebesar 34 persen, namun realitas fiskal provinsi ini masih tergolong lemah. Dengan APBD yang hanya berkisar Rp 3,3 triliun dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 1,2 triliun — yang sebagian besar terserap untuk belanja pegawai — ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur menjadi sangat terbatas.
“Kita punya PAD dan DBH hampir Rp 1 triliun. PR kita sekarang adalah bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar fiskal kita lebih kuat. Karena saat ini kita termasuk provinsi dengan fiskal lemah,” ujar Sherly.
Sebagai kepala daerah, Sherly menekankan bahwa langkah realistis yang bisa diambil dalam jangka pendek adalah fokus pada peningkatan PAD. Menurutnya, ini menjadi pekerjaan besar selama lima tahun ke depan agar Maluku Utara tidak terus bergantung pada kebijakan fiskal pusat.
“Satu-satunya cara untuk memperkuat daya fiskal adalah dengan membesarkan PAD kita sendiri. Dan itu harus menjadi agenda utama pembangunan daerah,” pungkasnya.
Pernyataan tegas Gubernur Sherly ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah pusat dan legislator nasional untuk mulai meninjau kembali kebijakan fiskal terkait industri hilirisasi pertambangan. Maluku Utara sebagai daerah penghasil nikel membutuhkan keadilan dalam pembagian keuntungan agar bisa bertransformasi menjadi provinsi maju yang tidak hanya kaya sumber daya, tapi juga kuat secara ekonomi dan sosial.
Reporter: Nuel
